Jateng, Pribhumi.com – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Heddy Lugito, mengungkapkan total 983 aduan diterimanya sepanjang 2024-2025 terkait pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Dia menegaskan bahwa persoalan utama dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia bukan hanya soal teknis, tetapi juga problem etika yang masih akut.
Hal itu disampaikan Heddy dalam Seminar Nasional Integritas Penyelenggara Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat (12/9/2025). “Problem bernegara dan berbangsa kita saat ini yang paling akut adalah problem etika, baik etika politik maupun etika profesi. Dan ini problem besar yang harus kita sadari bersama,” ujar Heddy.
Berdasarkan catatan DKPP, ia merinci sepanjang Pemilu 2024 terdapat 790 laporan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggara pemilu. Dari jumlah itu, sebanyak 510 penyelenggara diberikan peringatan, 76 diberhentikan tetap, 15 diberhentikan dari jabatan ketua, dan 4 diberhentikan sementara.
Sementara pada 2025, DKPP menerima 193 pengaduan.
Adapun rinciannya, 117 mendapat peringatan, 10 penyelenggara diberhentikan tetap, dan dua diberhentikan dari jabatan kordiv.
Menurut Heddy, sebagian besar pelanggaran terjadi di tahap kampanye dan penghitungan suara, dengan bentuk kasus yang paling menonjol adalah pergeseran suara. “Kalau ada anggota KPU kabupaten/kota sampai menggeser suara, tentu tidak lepas dari intervensi peserta pemilu. Tekanan itu nyata adanya,” ungkap Heddy.
Ia juga menuturkan lima syarat utama agar pemilu berjalan dengan baik, yakni regulasi yang jelas, penyelenggara yang independen dan berintegritas, peserta yang taat aturan, pemilih yang cerdas dan partisipatif, serta birokrasi yang netral.
Namun, tak bisa dipungkiri bila kondisi di lapangan masih jauh dari ideal. Dia merujuk data KPK dan ICW yang menunjukkan ratusan kepala daerah dan anggota legislatif hasil pemilu terjerat kasus korupsi.
“Money politic masih berkelindan di semua tahapan, pelanggaran netralitas ASN juga masih muncul di setiap wilayah, dan birokrasi kita memunculkan pejabat korup dari hasil pemilu,” katanya. Heddy bahkan mengungkapkan, indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan sebagaimana riset lembaga internasional The Economist; Indonesia kini berada di peringkat 59 dunia dari 167 negara.
Skor 6,44 dari skala 10 disebut sebagai negara dengan demokrasi cacat. “Kita dianggap sebagai negara demokrasi yang cacat. Kita ini kalah dengan Filipina, kalah dengan Malaysia. Karena berbagai praktik tadi, dulu 2015 sempat skor 7 tapi makin ke sini turun,” lanjutnya. Lebih lanjut, ia tetap mengapresiasi keberhasilan KPU dan Bawaslu dalam menyelenggarakan Pemilu 2024 tanpa menimbulkan benturan sosial.
Namun, ia menegaskan kualitas demokrasi masih perlu dibenahi. “Pemilu bukan sekadar kontes politik meraih kekuasaan, tapi ritual demokrasi sebagai penyerahan mandat rakyat. Pergeseran suara dan kejahatan lainnya adalah pengkhianatan terhadap demokrasi,” tegasnya. Sebagai solusi, ia mendorong perbaikan regulasi pemilu, termasuk revisi undang-undang, serta peningkatan kualitas rekrutmen penyelenggara. “Kita harus berani melakukan pembenahan agar integritas pemilu tidak terus-menerus digerogoti tekanan peserta politik,” tuturnya.
Sumber Berita: Kompas.com